Jurnal Harian-ku
 

 

“Mari kita kembangkan dan kita bangun kerjasama untuk mengabdi dan melayani masyarakat Katolik Indonesia”, demikian ajakan Sekretaris Jenderal KWI, R.D. P. Sigit Pramudji,Pr dalam sambutan pembukaan pertemuan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Katolik dengan para Sekretaris Komisi, Lembaga, Sekretariat dan Departemen (KLSD) Konferensi Waligereja Indonesia yang dilaksanakan menjelang pertengahan Juni 2008 lalu di Bogor.

 

Kerjasama yang dimaksud adalah kerjasama Pemerintah dalam hal ini Ditjen Bimas Katolik dengan lembaga Gereja Katolik Indonesia antara lain dengan KLSD KWI. Ditjen Bimas Katolik dan KWI sudah lama bekerja sama dalam bentuk  penyelenggaraan pertemuan nasional, sosialisasi produk hukum, pemberian bantuan dana dan sarana/prasana keagamaan Katolik, penyelesaian masalah keagamaan dan dalam bentuk kerjasama non-formal.

 

“Kedua institusi mempunyai keinginan yang sama yakni mengabdi dan melayani umat yang sama dengan itikad yang baik namun dalam lingkup dalam kerja yang berbeda. Harapan saya, kerjasama ini menghasilkan buah berlimpah dan pelayanan prima bagi umat Katolik  Indonesia”, tegas Romo Sigit, panggilan akrab Sekretaris jenderal KWI ini.

 

Pendapat senada diungkapkan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Katolik, Drs. Stef Agus. “Pada era globalisasi dewasa ini, perubahan di segala bidang berkembang terus dengan kecepatan tinggi, hal ini menuntut suatu kerjasama sinergis dan kesalingtergantungan (interdependensi) antara organisasi yang satu dengan organisasi lainnya dalam mencapai suatu tujuan. Oleh karena itu Pemerintah dalam hal ini Ditjen Bimas Katolik mengajak lembaga Gereja Katolik Indonesia untuk bekerjasama dalam melayani dan mengabdi umat Katolik sebagai warga  Katolik Indonesia seturut otonomitas masing-masing,” jelas Stef Agus pada sambutannya.

 

Menurut Stef Agus, tuntutan interdependensi dan kerjasama sinergis tersebut akan berhasil optimal bila memperhatikan beberapa hal ini: (1) berpola pikir win-win (saling menguntungkan); (2) sikap menghargai otonomitas atau perbedaan yang ada dan (3) kesediaan untuk saling berbagi. Kurangnya salah satu saja dari hal-hal tadi, akan menggagalkan kerjasama sinergis.

 

“Untuk itu, Ditjen Bimas Katolik sekali lagi, mengajak  lembaga Gereja Katolik Indonesia untuk memperkokoh dan memelihara kerjasama sinergis yang sudah berjalan selama ini dalam memberdayakan masyarakat Katolik Indonesia demi tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika dan terwujudnya masyarakat Katolik Indonesia yang seratus persen Katolik dan seratus persen Indonesia” lanjutnya. Dengan kerjasama demikian diharapkan peran dan partisipasi aktif warga negara Katolik dalam membangun Indonesia yang hidup sejahtera, adil, aman dan demokratis dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika semakin optimal. Hal ini sejalan dengan tema Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia 2005 yang salah satu penekanannya antara lain: “...pembaharuan diri menuju keterlibatan yang lebih nyata dalam upaya membentuk keadaban publik baru bangsa” (Bangkit dan Bergeraklah, 2005:256).

 

“Saya sangat senang bila hal-hal yang dapat dikerjasamakan dengan Bimas Katolik dapat berjalan dengan lancar seperti sosialisasi Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9/8 Tahun 2006 yang dilakukan selama ini bagi masyarakat katolik indonesia” kata Romo Benny Susetyo,Pr , Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Agama dan Kepercayaan KWI. Peraturan bersama yang dimaksud adalah Peraturan Bersama (PBM) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor: 9 Tahun 2006  Nomor: 8 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, Dan Pendirian Rumah Ibadat.

 

Romo Lucas Paliling juga mengamini manfaat kerja sama selama ini. “Bila dalam setahun 1000 orang tenaga Gerejani membutuhkan rekomendasi bebas fiskal dengan harga 1 juta rupiah per orang, maka dana Gereja berhasil dihemat sebesar 1 miliar rupiah” demikian aku pejabat Departemen Tenaga Gerejani KWI ini.

 

Pertemuan yang dihadiri kurang lebih dari 40 peserta dari Bimas Katolik dan KLSD KWI menghasilakan “Ruang Temua Bersama” yang berisi poin-poin kesepakatan atas hal-hal yang dapat dikerjasamakan dan dikomunikasikan bersama sesuai otonomitas masing-masing. Baik Pemerintah maupun Gereja Katolik mengharapkan kerjasama sinergis ini menghasilkan buah-buah berlimpah bagi warga Katolik Indonesia sekaligus warga Gereja Katolik Indonesia. (Pormadi Simbolon).




 

Tidak semua orang percaya, bahwa terapi Ceragem Batu Giok (CBG) dapat menyembuhkan penyakit kista (cyst). Secara medis, kista semestinya harus dioperasi untuk menghilangkannya sehingga terjadi kehamilan. Kalau tidak demikian, hanya ketika terjadi kehamilan saja, kista baru bisa hilang dengan sendirinya.

Berli Boru Manihuruk (35 thn) warga Kramat Lontar Jakarta Pusat, mengidap penyakit kista dengan ukuran 8 cm lebih. Berli, (panggilan akrabnya), coba melakukan USG dan berkonsultasi dengan beberapa dokter di beberapa rumah sakit baik swasta maupun pemerintah soal bagaimana menghilangkan kista yang dialaminya. Jawabannya, semua dokter menyarankan bahwa jalan satu-satunya yang terbaik adalah mengoperasi kista tersebut.

Namun Berli tidak serta merta mengikuti saran para dokter tersebut. Ia takut operasi. Lalu ia mau mengikuti keyakinannya dengan memilih pengobatan alternatif tanpa obat berbahan kimia atau operasi.

Pada saat itulah muncul idenya untuk melakukan terapi CBG yang kebetulan dibeli orang tuanya pada tahun 2006 lalu. Soalnya terapi CBG tersebut sudah terkenal bisa menyembuhkan aneka penyakit yang diidap tetangganya seperti penyakit lumpuh, tumor, atau rabun mata di lingkungan sekitar Kramat Lontar. Tidak heran melihat banyak orang ke rumahnya melakukan terapi dan sembuh, Berli pun mencoba terapi CBG tersebut.

Alat terapi CBG sebenarnya akhir-akhir ini lagi nge-trend di Indonesia, teristimewa di Jabodetabek. Banyak orang melakukan terapi CBG dan memperoleh hasil yang memuaskan.

Alat terapi CBG menyerupai tempat tidur listrik. Proses kerja CBG adalah proses pelepasan energi panas listrik melalui batu giok yang sudah dirancang sedemikian rupa sehingga pada alat terapi tersebut terdapat tiga kabel yang masing-masing berisi batu giok 6-9 buah. Salah satu kabel berisi batu giok tersebut berfungsi untuk bagian punggung yang diletakkan di bawah tempat tidur. Batu giok tersebut dapat diset bergerak baik secara otomatis maupun diset terfokus pada bagian punggung. Dua kabel berisi batu giok lainnya dirancang secara manual. Artinya keduanya digunakan dan ditempelkan pada bagian tubuh yang sakit mulai dari ujung kaki sampai ke ujung bagian kepala. Penggunaan CBG dianjurkan 3-4 kali sehari. Fungsi terapi CBG tersebut adalah memperlancar peredaran darah dan proses kimiawi dalam tubuh manusiawi lewat batu giok dengan bantuan listrik. Panasnya bisa mencapai 60 derajat celsius. Energi panas tersebutlah yang membantu pemulihan dan penyehatan dinamika peredran darah dalam tubuh.

Berangkat dari pengetahuan akan fungsi terapi CBG tersebut, Berli dengan penuh keyakinan menggunakan terapi CBG untuk menghancurkan kista yang dideritanya. Tiap hari, selama dua bulan ia melakukan terapi CBG. Salah satu kabel berisi batu giok tersebut menempel langsung pada kulit tubuh tempat kistanya bersarang. “Sangat panas, tetapi tidak berbahaya, karena lewat panasnya tersebutlah, kista saya bisa hancur” demikian akunya terkait dengan panasnya energi yang keluar dari CBG tersebut.

Pada akhir bulan kedua, Berli merasa kistanya sudah hilang. Untuk membuktikan kebenarannya, ia kembali melakukan USG, memang benar kistanya sudah hilang. Dokter pun tidak percaya. Untuk memastikan bahwa kista tersbut benar-benar hilang, ia mencoba USG di dua rumah sakit swasta yang berbeda, hasilnya juga sama, kista sudah hilang. Para dokter heran. ini mujijat, komentar salah seorang dokter, demikian cerita Berli kepada penulis.

Namun itulah kenyataan, kistanya sudah hilang, sekarang Berli sedang hamil dan tinggal menunggu kelahiran anaknya. Ternyata kista bisa sembuh dengan terapi CBG bila diikuti niat dan keyakinan kuat serta dengan bantuan kuasa adikodrati. Bagi anda pengidap kista, beranikah mencoba terapi CBG atau membeli alat terapi CBG? Ini bukan promosi ya…, jika ada berminat tuliskan data diri anda di ruang komentar ini. (Diceritakan Berli kepada Pormadi pada bulan Januari 2008).


 

Jika anda penggemar kangkung, tidak kira ca kangkung, petis kangkung,  kangkung cos, dll yang berkaitan dengan kangkung,  mungkin cerita ini  dapat menjadi pertimbangan bagi Anda when you want  to eat kangkung

 

 Saya mendapat cerita ini dari seorang teman, tapi  saya lupa di Negara  mana, yang jelas antara Singapura /Malaysia.

 

 Pada suatu hari di klinik yang terkenal, semua  doktor kebingungan kerana   ada seorang anak kecil yang menderita sakit perut.   Anak itu dibawa ke klinik oleh orang tuanya setelah  2 hari menderita  diarhea. Sudah bermacam ubat sakit perut  yang   diberikan kepada anak itu,  namun diarheanya tidak sembuh.

 

 Di klinik orang tua anak tersebut ditanya oleh  doktor, makanan apa yang  dimakan oleh anak tersebut selama 2 hari ini.  Orang tua anak itu kebingungan, kerana sejak anaknya   diarhea anak  tersebut tidak mau makan, dia hanya minum susu, itu  pun akan muntah  semula.

 

 Setelah dikaji, ternyata sebelum menderita diarhea, malamnya anak   tersebut baru saja diajak makan kangkung cos di restoran oleh orang tuanya.

 

 Dokter segera melakukan xray, ternyata di usus anak tersebut telah berkembang biak lintah dengan anaknya yang kecil-kecil.  Doktor surrender dan menyatakan tidak sanggup mengambil tindakan medical apapun.

 

Akhirnya anak kecil malang itupun meninggal dunia. setelah dikaji, ternyata lintah itu sebelumnya  berada di dalam batang  kangkung yang besar. Memang, untuk penggemar kangkung cos yang paling  enak adalah batangnya. Lintah yang berada di dalam batang kangkung itu tidak akan mati walau dimasak selama manapun, apa lagi untuk kangkung  cos proses memasak tidak terlalu lama untuk > menghasilkan rasa kangkung  yang enak. lintah hanya akan mati jika dibakar. Di  dalam usus anak tadi,  lintah yang tadinya hanya 1 dalam 2 hari berkembang biak dengan cepatnya  karena terus menerus menghisap darah yang ada, doktor juga kebingungan, bagaimana mematikan/membersih
kan lintah yang telah  sangat banyak tersebut dari dalam usus anak malang itu.


 

 Jujur, sejak mendengar cerita itu, kesukaan saya terhadap kangkung menjadi berkurang, boleh dibilang sudah 1 bulan ini saya sama sekali tidak makan kangkung dalam bentuk apa pun, bukan  kerana menjadi paranoid, tapi bagi Saya lebih baik menjaga segala kemungkinan yang ada, masih banyak sayur lain yang dapat kita makan dengan meminimumkan segala kemungkinan "lintah" yang
terselip di dalamnya.


 

Semoga cerita ini dapat  menjadi pertimbangan untuk kita semua sebelum  masak/makan kangkung.